Tuesday 24 February 2015

Agenda Kebijakan dan Partisipasi Masyarakat



PEMBAHASAN

Agenda kebijakan tidak lain adalah sebuah daftar permasalahan atau isu yang mendapat perhatian serius karena berbagai sebab untuk ditindaklanjuti atau diproses pihak yang berwenang menjadi kebijakan. Apakah kebijakan yang akan dibuat dapat memenuhi kepentingan semua pihak dalam masyarakat, terdapat berbagai kepentingan, kekuasaan, dan kecenderunganyang berbeda. Akibatnya, tidak semua kepentingan tertampung dalam agenda kebijakan. Penyaringan masuk dari berbagai isu dan kepentingan ke dalam kebijakan merupakan proses tersendiri yang tidak mudah.


Jika proses identifikasi masalah dan proses perumusan strategi kebijakan dapat dilakukan melalui langkah-langkah tertentu dan dengan menggunakan kriteria yang jelas dan rasional, proses masuknya isu ke dalam agenda kebijakan tidak sepenuhnya dapat dilakukan secara rasional. Proses ini lebih cenderung bersifat politis dari pada rasional. Alasan yang rasional pada umumnya hanya digunakan sebagai sarana pendorong untuk memperoleh prioriotas. Dapat dikatakan bahwa alasan yang rasional belum tentu berhasil memasukkan kepentingan dalam agenda kebijakan. Sebaliknya, yang masuk dalam agenda kebijakan belum tentu berdasarkan alasan yang rasional. Beberapa di antara faktor-faktor yang berpengaruh terhadap proses penyusunan agenda itu adalah sebagai berikut:

1. Perkembangan sistem pemerintahan yang demokratis 
2. Sikap pemerintah dalam proses penyusunan agenda
3. Bentuk pemerintahan atau realisasi otonomi daerah.
4. Partisipasi masyarakat

Keempat faktor tersebut secara berturut-turutakan di uraikan dalam pembahasan berikut.

1. Sistem Demokrasi dan Agenda Kebijakan

Setiap pemerintah mempunyai warna dan ciri tersendiri dalam kebijakan yang dibuatnya. Hal ini merupakan variasi yang menarik bagi para ilmuwan politik dan kebijakan publik. Kebijakan Soeharto misalnya, mempunyai gaya yang berbeda dengan kebijakan Soekarno, sekalipun kedua pemerintahan itu mempunyai bentuk yang sama sebagai otoritarian. Begitu juga antar gaya kebijakan Habibie dengan gaya kebijakan Gus Dur dan Megawati. Masing masing mempunyai gaya dan ciri tersendiri yang berbeda. Perbedaan itu tidak saja terletak pada sistem pemerintahan yang dianut, tetapi juga pada gaya kepeminpinan yang dipengaruhi pada latar belakang pendidikan, budaya, dan kepribadian masing-masing. Di samping itu, terdapat perbedaan lain yang oleh Huntington dikatakan sebagai degree of government, yaitu derajat yang menunjukan kemampuan pemerintah, sejauh mana kebijakan yang dibuatnya mampu diimplementasikan.

Jika ditelaah lebih lanjut, terlihat bahwa perbedaan antara kebijakan yang dibuat dengan kemampuan implementasi disebabkan oleh salah satu atau dua faktor, yaitu kelemahan konsepsi kebijakan itu sendiri dan kelemahan Administrasi atau birokrasi pemerintah sebagai sarana implementasi kebijakan. Kelemahan pertama sebagai akibat dari terpisahnya masyarakat dalam proses perumusan kebijakan publik. Sementara itu, kelemahan kedua karena birokrasi pemerintah di Negara-negara berkembang masih lemah, baik sebagai akibat dari kekurangan sarana dan rendahnya tingkat teknologi yang digunakan maupun karena rendahnya tingkat pendidikan dan keterampilan sumber daya aparatur. 

Dalam hal ini, masyarakat masih melihat kegiatan pembangunan dan urusan pemerintahan lainnya sebagai tugas dan tanggung jawab penuh pemerintah yang terpisah dari urusan masyarakat. Keadaan itu mengakibatkan pemerintah harus bekerja Sendiri tanpa ada partisipasi dan dukungan dari masyarakat. Oleh karena itu, banyak upaya telah dilakukan dan akan lebih banyak lagi yang harus dikerjakan untuk meningkatkan kemanpuan aparatur dan mengembangkan kesadaran terhadap peran yang dapat dan harus dimainkan oleh masyarakat dalam penataan pemerintahan.

Sejalan dengan perkembangan sistem pemerintahan yang demokratis di hampir semua negara, kajian terhadap analisis kebijakan publik dewasa ini menjadi semakin menarik. Dalam sistem ini, pemerintahan dikelolah berdasarkan partisipasi masyarakat secara luas. Kebijakan publik tidak lagi diputuskan di belakang meja oleh satu atau dua/tiga orang pejabat yang merasa bertanggung jawab dalam sutu bidang, tetapi harus dilakukan melalui prosedur demokrasi dengan melibatkan orang banyak, baik secara langsung, maupun tidak langsung. Bahkan sekarang, suara terbanyak dalam parlemen pun tidak dapat lagi secara bebas memutuskan sendiri dalam ruang yang tertutup tanpa mendapat dukungan masyarakat secara luas.

Perkembangan teknologi dalam bidang informasi dan komunikasi yang semakin maju telah memampukan masyarakat untuk secara langsung mengikuti setiap langkah dalam proses kebijakan publik. Pada gilirannya, hal ini menurut segenap pihak yang terlibat dalam proses perumusan dan implementasi kebijakan untuk memerhatikan dengan sungguh-sungguh aspirasi masyarakat. Kebijakan yang tidak sesuai dengan aspirasi masyarakat tidak akan mendapat dukungan dan akan sulit diimplementasikan. Dukungan masyarakat ini menjadi semakin penting sejalan dengan kecenderungan semakin berkurangnya keterlibatan pemerintah untuk secara langsung menangani sendiri tugas-tugas tersebut. Dewasa ini yang lebih banyak diserahkan untuk ditangani oleh pihak swasta, sekalipun tanggung jawab tetap ada di tangan pemerintah. Bagaimana inibisa terjadi? disinilah letak ''seni'' pemerintah baru dalam ''era demokrasi dengan teknologi maju'' sekarang ini.

Namun demikian, sebagai sebuah sistem buatan manusia, proses perumusan kebijakan secara demokratis seperti yang berlaku di Negara maju juga mempunyai berbagai keterbatasan. Keterbatasan itu terlihat dari adanya bias dalam proses penyusunan agenda kebijakan publik. Dalam proses penyusunan Agenda kebijakan yang dilakukan secara terbuka, setiap kelompok dalam masyarakat bebas bersaing. Masing-masing kelompok memperjuangkan aspirasi dan kepentingannya agar masuk dalam agenda kebijakan pemerintah. Akibatnya dapat dipastikan bahwa aspirasi dan kepentingan kelompok yang lebih kuat mempunyai kemunkinan yang lebih besar untuk masuk dari pada kepentingan dari kelompok yang lebih lemah.

Dalam hubungan yang sama, Jones menjelaskan hal ini melalui konsep “active and legitmate groups” dalam sistem demokrasi. Pengertian aktif menurut Jones, berkaitan dengan kerapian organisasi, struktur, kepemimpinan, dukungan dan ketersediaan sumber daya. Dikarenakan yang paling muda melakukan aktifitas adalah kelompok yang memiliki semua sarana itu, sehingga isu yang berkaitan dengan kepentingan kelompok kaya menjadi lebih menonjol dari pada isu yang mewakili kepentingan kelompok miskin. Sementara itu, legitimasi mempunyai makna terpenuhinya standar ''diterima'' dalam masyarakat ( standard of social acceptability ). Ini berarti adanya kelompok–kelompok lain yang tidak memenuhi standar yang dimaksud. Sebagai konsekuensi dan pengertian ''aktif dan “legitimasi” ini, terlihat bahwa konsep demokrasi dalam proses penyusunan agenda kebijakan telah menimbulkan pemihakan terhadap kepentingan kelompok tertentu dan pengabaian terhadap kelompok lain.

Sejalan dengan hal itu, Truman menujuk sisi lain dari persolan yang sama pada munculnya persaingan di antara kekuatan–kekuatan besar untuk mendorong pemerintah memillih salah Satu di antara beberapa kepentingan. Truman menguraikan keadaan ini melalui konsep yang disebutnya sebagai the inivitable gravitationtoward goverment. Jika satu kelompok melakukan aksi untuk memengaruhi agar kepentingannya masuk dalam agenda pemerintah dengan mengerahkan sumber daya yang ada padanya, maka kelompok lain juga akan berusaha untuk melakukan reaksi yang sama kuatnya. Akibatnya, akan terbentuk kondisi keseimbangan baru yang lebih tinggi dari keseimbangan semula. Pada saat itu, pemerintah berada di antara dua atau beberapa kekuatan besar yang saling bersaing. Hanya pemerintah yang kuat sajalah yang sanggup bertahan untuk tidak terombang ambing oleh kepentingan salah satu pihak dan mampu merumuskan kebijakan yang memihak pada kepentingan umum, serta mengimplementasikannya.

Edward dan Sharkausky melihat persaingan ini sebagai akibat dari keterbatasan waktu, personal dan dana yang tersedia dari pemerintah untuk menangani seluruh masalah kebijkan sekaligus. Sehubungan dengan hal itu, agenda kebijakan menjadi suatu keharusan. Namun, yang perlu dihindari adalah dominasi yang berlebihan dari kepentingan kelompok kuat dan penyingkiran kepentingan kelompok miskin dari agenda kebijakan publik.

2. Agenda Kebijakan dan Sikap Pemerintah

Pertanyaan lebih lanjut adalah apa agenda kebijakan itu? bagaimana suatu isu masuk dalam agenda, dan bagaimana sikap pemerintah menhadapi proses penyusunan agenda itu? secara singkat, agenda kebijakan dapat disebutkan sebagai daftar permasalahan atau isu untuk ditindaklanjuti “a listing of items for action”. 

Sementara itu Edward dan Sharkausky menyebutnya sebagai permasalahan yang mendapat perhatian yang aktif dan serius dari para pengambil kebijakan yang penting ”items receiving active and serios consideration by importand policy makers” Sebagai akibat dari persaingan tajam di antara berbagai kepentingan, hanya beberapa isu saja yang mendapat posisi sebagai isu yang akan ditindaklanjuti. Isu-isu tersebut masuk dalam agenda kebijakan melalui salah satu atau beberapa cara berikut ini:

1. Inisiatif dan prosesnya dilakukan oleh para pengambil kebijakan sendiri. keadaan ini di Indonesia biasanya terjadi dalam proses pembuatan keputusan presiden, keputusan menteri dan sebagainya.
2. Desakan pihak lain di luar pemerintah, seperti (lembaga swadaya Masyarakat /LSM, organisasi massa, dan pertain politik). Dewasa ini, banyak kebijakan pemerintah dalam bidang ekonomi terpaksa dilakukan karena desakan dari IMF sekalipun di kalangan para ahli masih meragukan manfaatnya.
3. Lembaga-lembaga penelitian milik pemerintah melalui temuan–temuan ilmiah atau data-data yang di kumpulkan dalam masyarakat. Hal ini banyak terjadi pada berbagai temuan BPPT dan LIPI.
4. Perorangan di luar organisasi pemerintah yang mengangkat suatu isu dalam masyarakat. contohnya, isu “busang” yang diangkat oleh “Amin Rais”, sehingga berkembang menjadi langkah awal dari sebuah reformasi total.
5. Media massa yang mematangkan suatu isu, sehingga menjadi pusat perhatian pemerintah (Edward,et.al., 1978 :100 ).

Sehubungan dengan hal itu, ada dua macam agenda kebijakan, yaitu systemic agenda dan institutional agenda. systemic agenda adalah isu yang secara umum mendapat perhatian masyarakat dan kalangan politisi, dan berada dalam lingkup yuridiksi pemerintahan. Sementara itu, institutional agenda dimaksudkan sebagai isu yang secara resmi menjadi perhatian serius dari penguasa. 

Sikap pemerintah dalam proses penyusunan agenda kebijakan itu merupakan pilihan salah satu atau kombinasi di antara tiga sikap berikut :

1. Membiarkan apa yang terjadi. Dalam hal ini, pemerintah bersikap pasif terhadap proses berlangsung sambil memengaruhi dan mengawasi secara tidak langsung (tut wuri handayani).
2. Memfasilitasi masyarakat untuk merumuskan masalah dan menyalurkannya melalui prosedur yang formal (ing madio mbangun karso) 
3. Pemerintah bertindak aktif dalam merumuskan masalah dan memprosesnya dalam agenda kebijakan (ing ngarso sungtolodo).

Manakah di antara sikap-sikap ini yang akan diambil oleh pemerintah? tergantung pada kematangan masyarakat, pentingnya atau strategisnya isu, tersedianya informasi, dan pentinnya penerimaan masyarakat. Kematangan masyarakat dapat dilihat pada kesadarannya terhadap pentingnya kebijakan pemerintah dalam kehidupan rakyat dan kemampuan rakyat memengaruhi proses kebijakan. Semakin matang suatu masyarakat maka semakin penting perlunya pemerintah ikut secara langsung dalam membantu masyarakat merumuskan masalah yang mereka hadapi dan memproses masuknya ke dalam agenda kebijakan. Pentingnya suatu isu diukur berdasarkan nilai strategis dari isu yang bersangkutan, yakni wawasan yang diliputi resiko yang dapat terjadi, dan jangka waktu pengaruh yang mungkin terjadi dalam masyarakat, serta jumlah dan kelompok orang yang terlibat. Semakin penting starateginya sebuah isu, semakin besarkemungkinan pemerintah melibatkan diri dalam proses penyusunan agenda kebijakan. Selanjutnya, sikap pemerintah akan ditemukan oleh tersedianya informasi tentang suatu isu maka semakin besar dorongan bagi pemerintah untuk bersikap aktif. Sebaliknya semakin kurang tersedianya informasi semakin kurang informasi-informasi, semakin pemerintah bersikap cenderung aktif. akhirnya sikap pemerintah juga ditentukan oleh sejauh mana pentingnya penerimaan masyarakat dalam proses perumusan kebijakan. 

Dalam masyarakat yang maju dan terdapat persaingan kelompok, penerimaan masyarakat terhadap perumusan kebijakan semaking penting. Setiap kelompok menjadi sangat peka terhadap tiap kata dalam perumusan kebijakan itu. oleh sebab itu, pemerintah tidak boleh bersikap aktif jika tidak mau menjadi korban dari pihak–pihak yang bertikai. Sebaliknya, juga tidak boleh bersikap pasif membiarkan kelompok–kelompok itu ''bertikai tanpa ujung''. Dari ketiga kemungkinan sikap tersebut, pemerintah cenderung akan memilih :

a) Bersikap pasif dan membiarkan apa yang akan terjadi jika masyarakatnya matang, isu yang berkembang tidak penting, informasi kurang dan penerimaan masyarakat terhadap kebijakan penting.
b) Memfasilitasi proses yang berjalan jika masyarakatnya matang, isu yang berkembang boleh jadi penting atau kurang penting, informasi cukup tersedia dan penerimaan masyarakat penting.
c) Bertindak aktif jika masyarakat kurang matang, isunya penting, informasi cukup tersedia, sedangkan penerimaan masyarakat tidak penting. Artinya,dalam masyarakat tidak ada konflik yang menonjol.

3. Otonomi daerah agenda kebijakan

Dengan berbagai keterbatasan yang terdapat dalam proses penyusunan agenda dan formulasi kebijakan yang mengakibatkan tersingkirnya kepentingan kelompok yang lebih lemah dapat diatasi, jika rakyat diberi wewenang yang lebih langsung untuk ikut serta dalam proses tersebut. Keadaan ini berkaitan dengan struktur organisasi pemerintah dan distribusi wewenang yang lebih proposional dan komplementer pada setiap tingkat organisasi pemerintah itu, dengan kata lain, ini berarti perlakuan sistem otonomi daerah.

Dalam sistem otonomi daerah, wilayah negara dibagi dalam unit-unit yang lebih kecil. masing-masing unit mempunyai wewenang untuk membuat kebijakan dalam batas yurisdiksi administrasinya sendiri. Dengan cara demikain, urusan pemereintahan didekatkan kepada rakyat, sehingga pemerintahan menjadi lebih efektif dan efisien. Menjadi lebih efektif karena penyelenggaraan pemerintahan yang berlangsung dalam wilayah yang lebih kecil, lebih memungkinkan penguasaan materi permasalahan dan penampungan aspirasi masyarakat dalam proses perumusan kebijakan. 

Semakin dekat kepada rakyat, semakin dapat dihindarkan terjadinya perumusan dan pelaksanaan kebijakan yang sia-sia, karena rakyat secara langsung dapat mengawasi jalannya pemerintahan. lansung kepada rakyat sebagai pemilik negara. penyelenggaraan pemerintahan dalam unit yang lebih kecil dan lebih dekat kepada rakyat juga menjadi lebih efisien. Dalam proses perumusan kebijakan yang seperti itu, nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat secara langsung dapat dilibatkan. 

Waktu dan biaya yang diperlukan untuk di identifikasi aspirasi masyarakat dan sosialisasi rumusan kebijakan tersebut dapat ditekan sekecil mungkin. Dengan demikian, dapat ditumbuhkan kesdaran dan tanggung jawab rakyat terhadap penyelenggaraan pemerintahan.

Pemerintahan yang dekat dengan rakyat adalah pemerintahan yang realistis. Pengelolaan pemerintahan menjadi bagian dari kehidupan rakyat sehari-hari. Teori–teori modern, baik yang berkenaan dengan konsep pemerintahan maupun tentang pembangunan sekaligus dapat menyatu dengan nilai-nilai tradisional dalam masyarakat setempat. 

Sebaliknya, pemerintahan yang jauh dari rakyat cenderung tidak menjadi realistis. Ketentuan–ketentuan dalam pemerintahan dan pembangunan menjadi barang ''cangkokan ''yang lepas dari kehidupan. Akibatnya, pemerintahan menjadi sesuatu yang ''asing '', yang jauh dari dunia rakyat sehari-hari.

Atas dasar pertimbangan tersebut, dalam undang-undang nomor 22 tahun 1999 pasal 1 butir (h) tentang pemerintahan daerah, pengertian tentang otonomi daerah dikaitkan dengan keperluan masuknya aspirasi masyarakat dalam kebijakan public.

''otonomi daerah adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentinganmasyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perungdang-undangan ''

Istilah ''menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat'' dalam ketentuan tersebut dimaksudkan sebagai keperluan melibatkan masyarakat dalam proses perumusan dan implementasi kebijakan. Dengan kata lain, ini berarti pengikut sertaan nilai-nilai yang hidup dalam masyaraakat. Apakah dengan sistem otonomi daerah seluruh kepentingan dalam masyrakat dapat dipastikan masuk dalam kebijakan, sehinggga tidak perlu ada perubahan lagi? Memang, kebijakan yang baik adalah kebijakan yang sesuai dengan dan mampu menampung aspirasi masyarakat. Namun, ini tidak berarti seluruh kepentingan dan aspirasi akan masuk dalam agenda kebijaksanaan, berhubung dengan berbagai keterbatasan seperti disebutkan terdahulu. Selain itu, yang perlu di sadari adalah bahwa dalam masyarakat yang berkembang, aspirasi itu juga ikut berkembang. Oleh karena itu, masuknya aspirasi masyarakat dalam rumusan kebijakan tidak berarti tertampunnya seluruh kepentingan yang ada dalam masyarakat untuk selama-lamanya. Tidak tertampunnya seluruh kepentingan merupakan indikasi bahwa masyarakat itu hidup dan tumbuh. Tanpa ada perkiraan demikian, berarti kita memaksakan kelanggengan suatu kebijakan dan mematikan perkembangan masyarakat.

4. Partisipasi Masyarakat dan Agenda Kebijakan

Dalam proses penyelenggaraan pemerintahan, ada satu hal yang sangat penting, yaitu partispasi masyarakat. Partisipasi ini dapat mengambil bentuk dukungan dan/atau tantangan. Partisipasi ini boleh jadi bersifat spontan, berlanjut atau sporadis, secara damai atau kekerasan, legal atau illegal, efektif atau tidak efektif (hungtintong,et.al.,1990:4, (terj.)).

Hungtintong membatasi pengertian partisipasi sebagai ''kegiatan warga Negara biasa (private citizen) yang bertujuan untuk memengaruhi pengambilan keputusan oleh pemerintah''. Pengertian ini memiliki konotasi bahwa proses perumusan kebijakan dilakukan pemerintah ''di luar rakyat”. Rakyat berada diluar proses. Partisipasi rakyat hanya bersifat member pengaruh pada proses tersebut. Ditinjau dengan konsep pilihan sikap oleh pemerintah seperti yang telah disebutkan di atas, sikap pemerintah di sini bersifat aktif dan masyarakat sudah atau belum begitu berkembang. Hungtingtong juga melihat partisipasi sebagai kegiatan, bukan sekedar sebagai sikap dari orang–orang biasa, bukan oleh kalangan militer, birokrat atau para politisi professional.

Dalam perspektif ekonomi, seperti yang ditunjukan oleh Bryant dan white (1982), partisipasi dapat terjadi jika manfaat yang mungkin diperoleh lebih besar dari pada pengorbanan (biaya) langsung, maupun pengorbanan (biaya) tidak langsung.

Suatu hal yang perlu dicatat adalah bahwa tidak dalam semua sistem pemerintahan, rakyat mempunyai kesempatan partisipasi yang sama besarnya dengan kesempatan untuk tidak berpastisipasi. Di Negara–Negara dengan sistem otoriter, rakyat tidak dapat mengelak untuk tidak melakukan partisipasi terhadap pelaksanaan kebijakan pemerintah, sekalipun mereka perumusan kebijakan, sehingga OT menjadi sangat kecil, bahkan dapat menjadi nol (0). Dengan demikian, kemungkinan untuk berpastisipasi di negara–negara otoriter menjadi lebih besar, yakni P = B – ( OL + O ) atau P = B – OL. Dalam keadaan demikian, sesungguhnya kita tidak dapat menyebutnya lagi sebagai partisipasi, tetapi hanya mobilitasi.

KESIMPULAN

Agenda kebijakan tidak lain adalah sebuah daftar permasalahan atau isu yang mendapat perhatian serius karena berbagai sebab untuk ditindaklanjuti atau diproses pihak yang berwenang menjadi kebijakan. 

Adapun faktor-faktor yang berpengaruh terhadap proses penyusunan agenda itu adalah sebagai berikut:

1. Perkembangan sistem pemerintahan yang demokratis 
2. Sikap pemerintah dalam proses penyusunan agenda
3. Bentuk pemerintahan atau realisasi otonomi daerah.
4. Partisipasi masyarakat

Dalam hal partispasi masyarakat dalam kebijakan publik, masyarakat dapat mengambil bentuk dukungan dan atau tantangan. Partisipasi ini boleh jadi bersifat spontan, berlanjut atau sporadis, secara damai atau kekerasan, legal atau illegal, efektif atau tidak efektif.


Menurut pandangan lain Rakyat berada di luar proses dari kebijakan publik. Di mana partisipasi rakyat hanya bersifat member pengaruh pada proses tersebut.